Sunday, September 23, 2018

Yadnya Banten Tanpa Daging



Banten Tanpa Daging, Apa Mungkin?
""""//Saya telah puluhan kali muput upacara tanpa daging, jika itu memang salah, nafas saya pasti sudah dicabut. Toh saya tetap bugar, sehat," tukas Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba.//""""
Berenang di lautan tradisi tak selamanya enak, memang. Kesukaan ini menyebabkan orang jerih memandang perubahan. Terkecuali bagi mereka yang ingin terus bertumbuh, terbuka pada pembaruan, tradisi kerap dianggap sebagai penjara. Nyatanya tak banyak sosok yang berani melawan arus besar tradisi. Apalagi hendak merubah sesuatu yang diwariskan turun-temurun -- sungguh tak mudah dilakukan.
Ida Pendanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, boleh jadi sosok langka dalam pergolakan besar antara tradisi dan pembaruan. Sulinggih asal Karangasem yang kini menetap di Lingkungan Muding Indah, Kerobokan, Kabupaten Badung ini kerap dituduh nyeleneh, ide-idenya sering dianggap asing, tak anut sasana, karena keberaniannya melawan arus besar kelaziman tradisi. "Tak hanya nyeleneh, saya juga dituduh pengkhianat," papar Ida Pedanda sembari tertawa.
Saat muncul pilihan sejumlah kelompok untuk tak menyertakan hewan kurban dan daging dalam upacara di Bali, Ida Pendanda Bang adalah sosok paling memaklumi hal ini. Ia berani pasang badan, manakala banyak sulinggih menolak muput upacara yang dianggap tidak lazim itu. Pun ketika upacara-upacara di Bali dituding kelompok tertentu mengaturkan "bangkai" pada setiap ritualnya – sekali lagi hanya Ida Pedanda Bang Buruan siap pasang badan -- membela gigih pandangan-pandangan Hindu Bali yang dianggap kolot. "Ya kita coba mediasi hal itu supaya tidak muncul benturan, karena sering setiap yang baru membuat masayarakat terbelah," tambah Ida Pedanda.
Bagi Ida Pendanda Bang, tidak ada yang salah dalam keyakinan itu. Tanpa kurban atau menyertakan kurban prinsip dasarnya sama. Coba baca teks Bukbuksah Gagakaking? Di sana ada dua pertapa kakak beradik, yang sama-sama menjalanan tapa brata. Yang satu Bubuksah, berpaham Siwa, bertapa di puncak gunung, pemakan segala, alias sarwa baksa. Sang adik berpaham Budaa, bertapa di hilir sungai, ia sangat hati-hati dalam hal makan, menghindari daging, yang hanya makan buah, biji, dan daun-daunan Gagakaking menjalani laku tapa nyridanta, istilah kerennya vegatarian.
Bagi Ida Pedanda Bang, dua kakak beradik dalam kisah Bubuksah dan Gagakaking merupakan dua model pabratan. Ini sama-sama dibenarkan, keduanya pun mendapat karunia surga. Makan daging seperlunya supaya tubuh tetap sehat juga dianjurkan, karena manusia hidup perlu energi. Hidup vegetarian tanpa hendak menyakiti makhluk lain juga bagus. Yang jelas dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Sebaiknya jangan rusak tubuh ini, makanlah secukupnya, tak berlebih dan berkurang. Jangan pula menyiksa karena "janji" hendak masuk surga. Tuhan yang nyata berada di sini di tubuh ini dan pada apa yang bisa lihat dan rasakan.
Kalau dalam brata saja ada dua jalan, jalan Bubuksah dan Gagakaking, kenapa tidak dilakukan juga dalam upacara? Pertanyaan inilah yang meneguhkan Ida Pedanda Bang berterima muput setiap upacara yang tidak menyertakan hewan atau binatang kurban. Alasanya tak cuma ingin mencari jalan tengah atau hendak mendamaikan. Lebih dari itu, membiasakan orang berpikir demokratis, tidak saling mencela, tidak juga saling menyalahkan. "Saya telah puluhan kali muput upacara tanpa daging, jika itu memang salah, nafas saya pasti sudah dicabut. Toh saya tetap bugar, sehat," tukas Pedanda yang menghabiskan masa mudanya di Lombok
Bagaimana dengan puja panganteb itu? Menurut Ida Pedanda Bang, puja itu di mana-mana sama. Baik upacara tanpa daging atau tidak, puja tidak berbeda. Sadari puja itu tidak bersifat destruktif. "Semua kurban yang dihadirkan dalam caru misalnya hanyalah sebatas penyertaan, tidak untuk dibunuh. Yang terpenting adalah penyertaan warna sebagaimana pangider-ider yang harus disesuikan dengan dewa penguasa arah. Misalnya kurban kebo bisa diganti dengan beras hitam, injin. Sapi bisa diganti dengan beras merah. "Dalam muput caru tiang biasa menyertakan kurban hewan dan binatang masih hidup, dan setelah dihaturkan kami lepas kembali ke habitat semula"
Caru sebagaimana hakikat intinya, sebagaimana diyakini Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, tidak melulu harus diartikan sebagai upaya mendamaikan energi Bhuta Kala, tapi saatnya diupayakan terus merawat keharmonisan alam. Sebab sebagaimana makna dasarnya, caru berarti membuat ia selalu cantik atau manis, dan berarti juga ikut menggerakkan. Tidak membuang sampah plastik sembarangan, tidak mencemari sungai dengan limbah beracun, tidak merusak humus tanah dengan limbah kimia merupakan bagian dari caru yang rutin itu. "Jika Anda ingin tetap sehat, udara tetap bersih, mohon jangan kotori alam ini dengan beragam sampah, alih-alih sampah kimia," tukas Ida Pedanda Bang serius.
Sepanjang upacara itu belum diupayakan merawat ekosistem hidup, maka apa pun bentuknya upacara itu jauh dari makna dan guna. Memang tidak ada masalah dengan upacara, tetapi bila implikasinya merusak alam apakah tak patut dipikirkan? Coba perhatikan, lanjut Ida Pedanda Bang, dalam hal materi upacara misalnya, orang Bali tergantung pada Jawa. Janur, pisang, telor, itik, semua didatangkan dari Jawa. Bayangkan jika pohon kelapa di Jawa musnah, atau tak berbuah, bayangkan jika Bali terserang wabah flu burung, bukankah ini resiko langsung kesukaan berupacara tanpa pikiran cerdas. "Karena itu, melepas burung-burung ke udara, melepas ikan-ikan ke danau dan sungai-sungai meruapakan aplikasi lebih pantas," papar Ida Pedanda Bang Buruan.
"Jika ini dinilai kurang baik bagi sejumlah orang, mohon tunjukkanlah yang lebih baik," tantang lembut Ida Pedanda. Menurutnya, kita ini adalah para pencari, tidak baik orang mengklaim ada jalan paling benar, apalagi paling menjanjikan. Dulu India kaum Brahmana dikritisi Budha, yang mengklaim surga dan pembebasan hanya diperoleh dengan jalan kurban. Nyatanya tidak begitu, Budha pun dikritisi, pembebasan tidak melulu ditemukan dengan jalan pengasingan diri. Di sini, di rumah keluarga, tanpa menjauh dari kehidupan sehari-hari pembebasan pun bisa tercapai. "Nah artinya semua orang ada dalam proses mencari, setelah latihan cuma ada jalan latihan."
Apakah upacara yang memakai daging itu tergolong yajna rendah? Imbuh Ida Pedanda Bang, dalam konteks pemujaan tidak ada istilah tinggi rendah. Semua diukur atas ketulusan dan kedalaman hati.Tidak salah mereka yang menggunakan daging, dan tidak keliru pula mereka lebih sreg tanpa menggunakan daging. Semua pilihan itu harus dihormati, dikasi ruang lebih mulia, bahwa tunas yang baru bertumbuh itu belum tentu jelek. "Saatnya orang berpikir cerdas, demokratis, bahwa kita semua hanya para pencari, bukan penentu. Karenanya, betapa mulia bagi mereka yang bisa saling merawat," anjur Ida Pedanda


Thank you. Good luck !
Om Shanti Shanti Shanti Om 🙏
Best Regards,

I Gede Putu Sastrawan
Photographer


powered by GOD.

No comments: